Universitas adalah tempat menimba ilmu, mengembangkan potensi, dan membangun masa depan. Namun siapa sangka, di balik hiruk-pikuk aktivitas akademik, terkadang tersembunyi beban dan tekanan psikologis yang berat. Peristiwa yang terjadi di Kampus Universitas Buddhi Dharma, Tangerang, menjadi bukti nyata bahwa kesehatan mental mahasiswa perlu mendapatkan perhatian lebih serius.
Pada suatu pagi yang seharusnya berjalan biasa, suasana kampus mendadak gempar. Seorang mahasiswa ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa, tergantung di tangga kampus. Kejadian ini bukan hanya mengagetkan, tetapi juga menyisakan luka mendalam dan menyulut kembali diskusi publik tentang urgensi kesehatan mental di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Bab 1: Kronologi Kejadian
1.1 Waktu dan Lokasi
Peristiwa tragis ini terjadi pada pertengahan Juni 2025. Mahasiswa tersebut ditemukan dalam posisi tergantung di tangga darurat salah satu gedung kampus Universitas Buddhi Dharma Tangerang. Penemuan jasad terjadi pada pagi hari, saat kampus baru mulai beraktivitas.
Saksi pertama adalah petugas kebersihan yang hendak membersihkan area tangga. Saat menaiki lantai dua, ia terkejut melihat tubuh tergantung dengan tali yang diikatkan pada pagar tangga. Spontan, ia berteriak minta tolong dan memanggil pihak keamanan kampus.
1.2 Tindakan Kampus dan Polisi
Pihak kampus segera menghubungi kepolisian sektor terdekat. Tim Inafis Polres Metro Tangerang Kota datang untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Jenazah kemudian dievakuasi ke RSUD Kabupaten Tangerang untuk proses identifikasi dan autopsi.
Barang-barang pribadi korban ditemukan di sekitar lokasi, termasuk telepon genggam, tas ransel, dan catatan kecil. Tidak ditemukan tanda kekerasan fisik, dan berdasarkan temuan awal polisi, kejadian ini murni dugaan gantung diri.
Bab 2: Identitas Korban
2.1 Data Pribadi
Korban adalah seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun, tercatat sebagai mahasiswa semester empat di salah satu program studi di Fakultas Ekonomi. Menurut teman-temannya, korban dikenal sebagai sosok pendiam, rajin kuliah, namun tidak terlalu aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
2.2 Latar Belakang Keluarga
Keluarga korban berdomisili di sekitar kawasan Tangerang juga. Ayah korban adalah seorang pekerja swasta, sementara ibunya ibu rumah tangga. Mereka mengaku tidak melihat tanda-tanda mencurigakan sebelumnya, namun mengungkapkan bahwa anak mereka belakangan ini sering terlihat murung dan menarik diri dari aktivitas sosial.
Bab 3: Dugaan Motif dan Tekanan Psikologis
3.1 Tekanan Akademik dan Sosial
Dari hasil penyelidikan awal dan kesaksian rekan-rekannya, korban diduga mengalami tekanan akademik. Nilai yang menurun, kesulitan menyelesaikan tugas, dan ketakutan akan kegagalan akademik disebut-sebut sebagai salah satu faktor pemicu stres berat.
Selain itu, korban juga diduga mengalami tekanan sosial. Ia merasa kesepian, kurang memiliki teman dekat, dan kurang mendapat dukungan emosional di lingkungan sekitarnya.
3.2 Dugaan Gangguan Mental
Catatan tulisan tangan yang ditemukan di dalam tas korban mengindikasikan gejala depresi. Ia menyebutkan rasa hampa, beban hidup yang berat, dan perasaan tidak berharga. Psikolog menyebut ini sebagai red flag dari gangguan depresi berat yang tidak terdeteksi lebih awal.
Bab 4: Respons Kampus dan Keluarga
4.1 Pernyataan Resmi Kampus
Rektor Universitas Buddhi Dharma menyampaikan duka cita mendalam atas kejadian ini. Dalam pernyataan resminya, pihak kampus berkomitmen untuk membantu keluarga korban, sekaligus mengevaluasi sistem dukungan psikologis yang tersedia bagi mahasiswa.
Mereka juga menyebut akan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk membantu penyelidikan dan mendorong penciptaan kampus yang lebih ramah kesehatan mental.
4.2 Suasana Duka di Keluarga
Keluarga korban tampak terpukul saat prosesi pemakaman. Ayah korban meminta agar kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, dan berharap tidak ada mahasiswa lain yang harus menghadapi penderitaan dalam diam. Mereka mengajak kampus untuk lebih aktif menyediakan ruang curhat dan bimbingan psikologis yang mudah diakses.
Bab 5: Isu Kesehatan Mental Mahasiswa
5.1 Fenomena Nasional
Kejadian mahasiswa gantung diri bukanlah hal baru di Indonesia. Data menunjukkan bahwa angka depresi dan bunuh diri di kalangan mahasiswa meningkat dari tahun ke tahun, terutama pasca-pandemi. Tekanan akademik, ekonomi, hingga konflik keluarga menjadi penyebab utama.
5.2 Kurangnya Akses Layanan Psikologis
Sebagian besar kampus di Indonesia belum memiliki layanan konseling psikologis yang memadai. Banyak mahasiswa yang bahkan tidak tahu ke mana harus mencari bantuan saat mengalami tekanan emosional.
Universitas Buddhi Dharma sendiri memiliki unit bimbingan dan konseling, namun belum sepenuhnya aktif melayani secara daring maupun tatap muka secara reguler.
5.3 Stigma Mencari Bantuan
Budaya tabu seputar kesehatan mental masih kuat. Banyak mahasiswa enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau “tidak waras”. Hal ini menyebabkan banyak kasus depresi tidak terdeteksi hingga terlambat.
Bab 6: Tanggapan Publik dan Aksi Sosial
6.1 Viral di Media Sosial
Berita tentang tragedi ini cepat menyebar di media sosial. Banyak netizen menyampaikan rasa duka dan solidaritas, bahkan tagar #SelamatJalanMahasiswa dan #MentalHealthMatters sempat menjadi tren lokal di Twitter/X Indonesia.
Beberapa alumni Universitas Buddhi Dharma juga menyuarakan pentingnya reformasi layanan kesehatan mental di kampus.
6.2 Aksi Simbolik dan Doa Bersama
Sebagai bentuk solidaritas, mahasiswa menggelar aksi doa bersama dan menyalakan lilin di halaman kampus. Mereka menuntut peningkatan layanan konseling, pelatihan mental health first aid bagi dosen, dan pengadaan hotline psikolog kampus.
Bab 7: Belajar dari Tragedi
7.1 Perlunya Deteksi Dini
Setiap kampus perlu memiliki mekanisme untuk mendeteksi mahasiswa yang berisiko tinggi mengalami gangguan psikologis. Dosen pembimbing akademik juga harus dilatih untuk mengenali gejala depresi.
7.2 Membangun Lingkungan Aman dan Terbuka
Kampus bukan sekadar ruang belajar, tapi juga rumah kedua. Budaya saling peduli, tidak menghakimi, dan membuka ruang diskusi emosional harus ditumbuhkan agar mahasiswa merasa aman.
7.3 Reformasi Kurikulum dan Beban Akademik
Beban akademik yang terlalu berat bisa menjadi pemicu tekanan emosional. Perlu evaluasi kurikulum agar mahasiswa tidak hanya digenjot secara akademik, tetapi juga diberi ruang untuk tumbuh secara personal dan emosional.
Penutup: Dari Tragedi Menuju Kesadaran Kolektif
Kematian seorang mahasiswa di kampus seharusnya tidak pernah menjadi berita biasa. Tragedi ini harus menjadi momentum refleksi bersama. Kesehatan mental bukan lagi isu pinggiran, tetapi kebutuhan mendesak di era modern ini.
Universitas Buddhi Dharma, dan seluruh kampus di Indonesia, perlu bergerak bersama membangun sistem yang mampu mengayomi, melindungi, dan menyembuhkan mahasiswanya. Pendidikan sejati tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menyehatkan jiwa.
Jangan biarkan mahasiswa menghadapi tekanan dalam diam. Satu nyawa hilang adalah terlalu banyak.
Baca Juga : Dubes RI untuk Turki: 12 WNI Terluka dalam Kecelakaan Balon Udara Sudah Pulang dari Rumah Sakit